Minggu, 07 Juni 2015

Opini 'kritik' Desain di Kota Palembang (1)



Disini saya tidak bermaksud sok tau atau sok bener. Di sini saya hanya sedikit mengemukakan pendapat tentang beberapa bagian ‘ikon’ dari kota yang sudah dari kecil saya diami, Palembang. Tentang perubahan-perubahan dibagian2 kota yang ada kalanya menurut ‘sok ngerti’ saya tidak sesuai, dengan kata santainya mungkin ‘mendingan yang lama dari yang baru’.

Saya belajar bahwa Desain sesuatu itu harus ada kesatuan (unity) dan keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), proporsi (proportion), irama (rhytm), kontras (contrast), dan pengulangan (repetition).
Tanpa teori-teori desain pun, sebetulnya saya sudah memiliki pandangan tersendiri dengan beberapa hal yang akan saya bahas. Jadi secara umum ini semua hanya ‘opini’ dari ‘selera’ individu yang berbeda-beda tiap orangnya.
Bagian pertama yang saya coba ulas ialah Budnaran air macur.
1.    Bundaran Air Mancur 
Bundaran air mancur (BAM) adalah Titik Nol Kota Palembang. Tidal begitu banyak yang bisa saya dapatkan tentang kesejarahan Bundaran Air Mancur ini selain dibangun tahun 1970an.

Saya akan berikan dua buah foto Bundaran air mancur ini (masing-masing dengan air yang muncrat dan yang tidak)

 Foto 1
 
Fountain Bundaran Air Mancur yang lama
(sumber foto : www.ashigaru.wordpress.com)
 
Fountain lama berhias air muncratnya
(sumber foto : www.cokyfauzialfi.wordpress.com)

Foto 2
Fountain Bundaran Air Mancur Baru
(sumber foto : www.palembanggalo.wordpress.com)

Fountain Baru berhias Air muncratnya
'(sumber foto : www.justritma.wordpress.com)

Ntah kenapa saya lebih suka dengan bentuk fountain yang pertama. Bukan berarti yang kedua tidak bagus, namun menurut pandangan saya, bentuk pertama lebih memenuhi unsur dasar desain.

Sebelum membahas lebih jauh ke’opini’ saya, saya akan jelaskan dulu bahwa yang pertama ialah Bundaran Air Mancur yang sejak pertama kali ada hingga tahun 2013. Sedangkan yang kedua ialah hasil rekonstruksi sebagai monumen peringatan Sea Games Palembang 2011.

Sekarang saya coba bahas lebih dalam opini yang ada di pemikiran saya mengapa saya lebih memilih yang pertama atau bentuk awal sebelum rekonstruksi.

a.    Nilai Kesejarahan

Ini Poin paling utama dari semua alasan/pendapat saya selanjutnya.
Saya tidak begitu paham tentang sejarah bentuk BAM pertama karena memang saya tidak temukan literatur yang memadai di google. Namun jika saya perhatikan, bentuk fountain (lama) ini mengambil bentuk Teratai yang menjadi lambang kemaharajaan kerajaan Sriwijaya.

Teratai di sumsel sudah begitu akrab dilihat, dari mulai motif ukiran kayu khas hingga  logo Sumatera Selatan juga memakai simbol bunga air ini. Jadi tak perlu saya bahas panjang lebar bagaimana nilai/value kesejarahan fountain ini. 

 Bentuk Fountain yang tradisonal dan khas banget
(sumber foto : www.20foto-foto-foto.blogspot.com)

Sangat disayangkan jika suatu ikon kota yang bersejarah dihilangkan begitu saja dengan alasan ikon baru. Apa tidak ada lahan lain yang bisa dibangun?

b.    Proporsi
Saya ambil aspek proporsi karena terlihat sekali bahwa fountain baru lebih besar dari yang lama.
Namun apakah ukuran ini memberikan dampak positif? Hm... mohon maaf jika saya katakan tidak. Kenapa? Karena dengan ukuran yang lebih besar akan membuat Jalan Raya atau lingkungan sekitarnya menjadi lebih sempit meskipun secara dimenasi lingkaran kolam sendiri tidak terjadi perubahan diameter.
Kembali lagi ini kepada kesan yang dihadirkan dari suatu ukuran benda.
Fountain Bundaran air mancur nampak begitu besar
(sumber foto : www.kaskus.com)
Bandingkan dengan fountain pertama. Bagaimana fountain yang lebih ramping dan tidak begitu tinggi justru membuat suasana lebih luas. Ini sedikit banyak berpengaruh terhadap psikologis pengendara dan pengguna jalan.
Fountain tidak besar namun tetap elegan
(sumber foto : www.evin.blogspot.com)

Ternyata tidak sampai disitu. Setelah saya perhatikan ternyata air muncrat yang ada, antara yang dulu dan sekarang mengalami perubahan pola.
Jika yang dulu, bisa mencapai 2 tipe muncratan air dimana muncratan air sisi terluar dapat di buat menjorok kedalam atau pola diagonal. Apa pengaruhnya? Lagi lagi ini akan membuat kesan bahwa BAM lebih luas.

Berbeda dengan saat ini dimana muncratan air lebih sering pola vertikal. Pola ini kembali mengakibatkan kesan BAM terlalu sempit dan ‘terdesak’

c.    Kesatuan dan keselarasan
Mungkin dari sisi ini saya sulit memberikan pandangan tertulis. Karena lebih terfokus pada selera dalam melihat.

Secara umum coba saya berikan gambaran bagaiman bentukan –apalagi ini merupakan focal poin- selaras dengan lingkungan sekitarnya.

Bentuk fountain lama, dengan pola sangat tradisonal nampaknya lebih selaras dan menyatu dengan lingkungan utamanya yaitu jembatan ampera dan Masjid Agung.

Berlatar jembatan Ampera, keduanya nampak saling mendukung
(foto oleh Gambara)
Lihat foto yang berlatar jembatan ampera diatas. Bagaimana BAM dapat mendukung keindahan Jembatan Ampera tanpa ada kesan ingin dominan.
Bandingkan dengan yang baru berikut
 Berlatar Jembatan Ampera, nampak begitu dominan
(sumber foto : www.tripadvisor.com)
Selanjutny dengan latar masjid Agung, nampak bentuk BAM justru mempercantik dan mendukung bentuk Masjid terutama bagian Atap masjid yang berbentuk piramid.

Bundaran air mancur dan Masjid nampak harmonis
(sumber foto : www.kaskus.com)

Bandingkan dengan yang baru berikut.
Fountain terlalu dominan sehingga nampak tak seimbang dengan Masjid
(sumber foto : www.skyscrapercity.com)

Tidak sekedar bentuk, nampaknya yang menarik ialah bahan yang digunakan untuk fountain. Bahan mengkilap yang saya kurang paham jenisnya ini, justru terkesan ‘terlalu menyilaukan'
 Kala siang seringkali terlihat seperti seng raksasa ditengah jalan
(sumber foto : www.tribunnews.com)

Bandingkan dengan yang dulu, meskipun bahannya dulu saya liat sering berkarat, namun kesan tradisional dan otentik jauh lebih dominan. Lantas kenapa tidak memperbaharui bahan dari fountain lama saja?
 Elegan dengan warna emas nya
(sumber foto : www.antarafoto.com)



d.    Kontras
Kalau sekedar membahas kontras, saya pikir BAM baru lebih kontras. Namun desain untuk ikon tidak sepenuhnya kontras sekontras-kontrasnya. Balik lagi kepada keselarasan dengan lingkungan sekitarnya seperti yang saya bahas sebelumnya.

 Dulu

Tampak atas kala malam
(sumber foto : www.sinamusiampera.blogspot.com)
Tampak atas kala siang
(sumber foto : www.feedage.com)
Sekarang

nampak atas kala malam
(sumber foto : www.palembang.tribunnewa=s.com)

nuansa malam
(sumber foto : www.instacoolphoto.com)


Tidak adil rasanya jika saya hanya memberi opini 'kritik' , maka saya nyatakan salut dengan sang desainer yang secara konsep, Tugu Sea Gemes ini sangat terlihat makna yang ingin disampaikan dan paling penting juga 'eye catching' .

Sekali lagi ini cuma opini... Tidak ada karya seni yang tidak bagus... semua tergantung perspektif masing-masing individu.

Selanjutnya, di Bagian 2, saya akan membahas tentang Masjid Agung Palembang.
Bagian mana dari Masjid kebanggan Palembang ini yang saya coba beri ulasan?


2 komentar:

  1. mas cuma mau mengoreksi, lambang dari Universitas Sriwijaya adalah bunga melati, bukan bunga teratai

    BalasHapus
    Balasan
    1. oke akpanji,,,, kmren smpet dikoreksi jg, tp lupa di perbaiki... :)trima ksih

      Hapus