Minggu, 28 Oktober 2012

Perpisahan yang Sempurna

Sepagi itu…
Kala mentari belum bangkit dari peraduannya
Zumi berlari memecah keheningan alam, menerobos kabut subuh, menjatuhkan embun yang terpulas diatas daun
Ia berlari melawan waktu demi menjumpai Matita yang telah menunggu di bawah pohon maple yang masih menguning

“Matita, maaf aku terlambat”
Diam
“Apakah kau marah Matita?”
“Kalau kau anggap aku marah, berarti kau belum mengenalku”
“Maafkan aku Matita”
“Tak akan mungkin hanya karena beberapa detik keterlambatan ini, aku menghabiskan energi untuk marah. Menunggu kepastianmu jauh lebih penting bagiku”

Lama terdiam, hingga kicau kutilang memecah keheningan.

“Akankah kau hanya menunggu kepastian itu?”
“Aku tidak berhak menunggu hal lain” Jawab Matita
“Bagaimana jika ternyata yang kau tunggu tidak sesuai harapan?”
“Aku akan berlari… Mencari kepastian yang tersedia di tempat lain”
“semudah itu?” Zumi memegang erat lengan atas Matita
“Mengapa tak kau katakan saja segera kepastiannya?” Matita menggoyangkan tangan berusaha melepaskan genggaman Zumi

Mentaripun mengintip memberi sedikit cercah cahaya pagi

“Mengapa kau terdiam Zumi?”
“Maafkan Matita, aku tak ingin kau lelah karena berlari”
“Lebih baik aku lelah berlari dalam kepastian, dari pada aku mati dalam penantian”
“Beri aku satu kesempatan lagi untuk membujuk mereka”
“Harusnya kita bersatu karena kesempurnaan restu, bukan paksaan dan belas kasihan” dan tangis Matita pun tak tertahankan
“Bukan kah kita yang menjalankan? Mereka tak akan pernah bisa mengerti…” Zumi berupaya meyakinkan dalam keraguannya sendiri “Pergilah bersama ku, kita pasti mampu bertahan, sebagaimana pertahanan kita selama bertahun-tahun lalu”

Matita menatap Zumi tajam “Cinta memang memberikan kekuatan. Tapi, Cinta tak pernah menguatkan untuk menghalalkan dosa”
“Kau anggap semua ini dosa Matita?”
“Aku hanya menginginkan Persatauan cinta tanpa ada yang tersakiti”
“tapi… bukan berarti mengorbankan perasaanmu sendiri !”
“dan bukan berarti pula mengorbankan perasaan orang lain” Jawab Matita
Matita berjalan perlahan sembari menatap mentari yang masih tampak setengah bagian dibalik bukit “Mungkin inilah saat ketika kita harus merelakan cinta, bukan karena ia tak mencintai lagi, tapi karena Lebih baik jika tak bersama”
Matita menengok dan  menatap Zumi “Kesempurnaan cinta ialah ketika semua orang berbahagia karena cinta itu”

Zumi memalingkan pandangan “Aku banyak belajar dari mu Matita. Andaikan kita dilahirkan bukan dalam perbedaan, hingga tak ada aturan yang melarang semua ini”
Matita menarik nafas panjang “Tak perlu banyak berandai. Tuhan punya perandaian yang telah ia tentukan jauh lebih Indah dari perandaian kita”


Dan Mentaripun sempurna terbit membentuk lingkar bercahaya, sesempurna akhir cerita Zumi dan Matita.
                                                    _tarmizi : penghujung okt 2012_

0 komentar:

Posting Komentar