Disini
saya tidak bermaksud sok tau atau sok bener. Di sini saya hanya sedikit
mengemukakan pendapat tentang beberapa bagian ‘ikon’ dari kota yang sudah dari
kecil saya diami, Palembang. Tentang perubahan-perubahan dibagian2 kota yang
ada kalanya menurut ‘sok ngerti’ saya tidak sesuai, dengan kata santainya
mungkin ‘mendingan yang lama dari yang baru’.
Saya
belajar bahwa Desain sesuatu itu harus ada kesatuan (unity) dan keselarasan (harmony),
keseimbangan (balance), proporsi (proportion), irama (rhytm), kontras (contrast),
dan pengulangan (repetition).
Tanpa
teori-teori desain pun, sebetulnya saya sudah memiliki pandangan tersendiri
dengan beberapa hal yang akan saya bahas. Jadi secara umum ini semua hanya ‘opini’
dari ‘selera’ individu yang berbeda-beda tiap orangnya.
Bagian
pertama yang saya coba ulas ialah Budnaran air macur.
1. Bundaran Air Mancur
Bundaran air mancur (BAM) adalah Titik
Nol Kota Palembang. Tidal begitu banyak yang bisa saya dapatkan tentang
kesejarahan Bundaran Air Mancur ini selain dibangun tahun 1970an.
Saya akan berikan dua buah foto Bundaran
air mancur ini (masing-masing dengan air yang muncrat dan yang tidak)
Foto 1
Foto 2
Fountain Bundaran Air Mancur Baru (sumber foto : www.palembanggalo.wordpress.com) |
Fountain Baru berhias Air muncratnya '(sumber foto : www.justritma.wordpress.com) |
Ntah kenapa saya lebih suka dengan
bentuk fountain yang pertama. Bukan
berarti yang kedua tidak bagus, namun menurut pandangan saya, bentuk pertama
lebih memenuhi unsur dasar desain.
Sebelum membahas lebih jauh ke’opini’
saya, saya akan jelaskan dulu bahwa yang pertama ialah Bundaran Air Mancur yang
sejak pertama kali ada hingga tahun 2013. Sedangkan yang kedua ialah hasil
rekonstruksi sebagai monumen peringatan Sea Games Palembang 2011.
Sekarang saya coba bahas lebih dalam
opini yang ada di pemikiran saya mengapa saya lebih memilih yang pertama atau
bentuk awal sebelum rekonstruksi.
a.
Nilai
Kesejarahan
Ini Poin paling utama dari semua alasan/pendapat saya selanjutnya.
Saya
tidak begitu paham tentang sejarah bentuk BAM pertama karena memang saya tidak
temukan literatur yang memadai di google. Namun jika saya perhatikan, bentuk
fountain (lama) ini mengambil bentuk Teratai yang menjadi lambang kemaharajaan
kerajaan Sriwijaya.
Teratai di sumsel sudah begitu akrab dilihat, dari mulai motif ukiran kayu khas hingga logo Sumatera Selatan juga memakai simbol bunga air ini. Jadi tak perlu saya bahas panjang lebar bagaimana nilai/value kesejarahan fountain ini.
Teratai di sumsel sudah begitu akrab dilihat, dari mulai motif ukiran kayu khas hingga logo Sumatera Selatan juga memakai simbol bunga air ini. Jadi tak perlu saya bahas panjang lebar bagaimana nilai/value kesejarahan fountain ini.
Bentuk Fountain yang tradisonal dan khas banget (sumber foto : www.20foto-foto-foto.blogspot.com) |
Sangat
disayangkan jika suatu ikon kota yang bersejarah dihilangkan begitu saja dengan
alasan ikon baru. Apa tidak ada lahan lain yang bisa dibangun?
b.
Proporsi
Saya ambil
aspek proporsi karena terlihat sekali bahwa fountain baru lebih besar dari yang
lama.
Namun
apakah ukuran ini memberikan dampak positif? Hm... mohon maaf jika saya katakan
tidak. Kenapa? Karena dengan ukuran yang lebih besar akan membuat Jalan Raya
atau lingkungan sekitarnya menjadi lebih sempit meskipun secara dimenasi
lingkaran kolam sendiri tidak terjadi perubahan diameter.
Kembali
lagi ini kepada kesan yang dihadirkan dari suatu ukuran benda.
Fountain Bundaran air mancur nampak begitu besar (sumber foto : www.kaskus.com) |
Bandingkan
dengan fountain pertama. Bagaimana fountain yang lebih ramping dan tidak begitu
tinggi justru membuat suasana lebih luas. Ini sedikit banyak berpengaruh
terhadap psikologis pengendara dan pengguna jalan.
Fountain tidak besar namun tetap elegan (sumber foto : www.evin.blogspot.com) |
Ternyata
tidak sampai disitu. Setelah saya perhatikan ternyata air muncrat yang ada,
antara yang dulu dan sekarang mengalami perubahan pola.
Jika
yang dulu, bisa mencapai 2 tipe muncratan air dimana muncratan air sisi terluar
dapat di buat menjorok kedalam atau pola diagonal. Apa pengaruhnya? Lagi lagi
ini akan membuat kesan bahwa BAM lebih luas.
Berbeda
dengan saat ini dimana muncratan air lebih sering pola vertikal. Pola ini
kembali mengakibatkan kesan BAM terlalu sempit dan ‘terdesak’
c.
Kesatuan
dan keselarasan
Mungkin
dari sisi ini saya sulit memberikan pandangan tertulis. Karena lebih terfokus
pada selera dalam melihat.
Secara
umum coba saya berikan gambaran bagaiman
bentukan –apalagi ini merupakan focal poin- selaras dengan lingkungan
sekitarnya.
Bentuk
fountain lama, dengan pola sangat tradisonal nampaknya lebih selaras dan
menyatu dengan lingkungan utamanya yaitu jembatan ampera dan Masjid Agung.
Berlatar jembatan Ampera, keduanya nampak saling mendukung (foto oleh Gambara) |
Lihat foto
yang berlatar jembatan ampera diatas. Bagaimana BAM dapat mendukung keindahan Jembatan
Ampera tanpa ada kesan ingin dominan.
Bandingkan
dengan yang baru berikut
Berlatar Jembatan Ampera, nampak begitu dominan (sumber foto : www.tripadvisor.com) |
Selanjutny
dengan latar masjid Agung, nampak bentuk BAM justru mempercantik dan mendukung
bentuk Masjid terutama bagian Atap masjid yang berbentuk piramid.
Bundaran air mancur dan Masjid nampak harmonis (sumber foto : www.kaskus.com) |
Bandingkan
dengan yang baru berikut.
Fountain terlalu dominan sehingga nampak tak seimbang dengan Masjid (sumber foto : www.skyscrapercity.com) |
Tidak
sekedar bentuk, nampaknya yang menarik ialah bahan yang digunakan untuk
fountain. Bahan mengkilap yang saya kurang paham jenisnya ini, justru terkesan ‘terlalu menyilaukan'
Kala siang seringkali terlihat seperti seng raksasa ditengah jalan (sumber foto : www.tribunnews.com) |
Bandingkan
dengan yang dulu, meskipun bahannya dulu saya liat sering berkarat, namun kesan
tradisional dan otentik jauh lebih dominan. Lantas kenapa tidak memperbaharui
bahan dari fountain lama saja?
Elegan dengan warna emas nya (sumber foto : www.antarafoto.com) |
d.
Kontras
Kalau
sekedar membahas kontras, saya pikir BAM baru lebih kontras. Namun desain untuk
ikon tidak sepenuhnya kontras sekontras-kontrasnya. Balik lagi kepada
keselarasan dengan lingkungan sekitarnya seperti yang saya bahas sebelumnya.
Dulu
Tampak atas kala malam (sumber foto : www.sinamusiampera.blogspot.com) |
Tampak atas kala siang (sumber foto : www.feedage.com) |
Sekarang
nampak atas kala malam (sumber foto : www.palembang.tribunnewa=s.com) |
nuansa malam (sumber foto : www.instacoolphoto.com) |
Tidak adil rasanya jika saya hanya memberi opini 'kritik' , maka saya nyatakan salut dengan sang desainer yang secara konsep, Tugu Sea Gemes ini sangat terlihat makna yang ingin disampaikan dan paling penting juga 'eye catching' .
Sekali lagi ini cuma opini... Tidak ada karya seni yang tidak bagus... semua tergantung perspektif masing-masing individu.
Selanjutnya, di Bagian 2, saya akan membahas tentang Masjid Agung Palembang.
Bagian mana dari Masjid kebanggan Palembang ini yang saya coba beri ulasan?
mas cuma mau mengoreksi, lambang dari Universitas Sriwijaya adalah bunga melati, bukan bunga teratai
BalasHapusoke akpanji,,,, kmren smpet dikoreksi jg, tp lupa di perbaiki... :)trima ksih
Hapus